Merefleksikan situasi bangsa dan kondisi negara setelah 73 tahun merdeka. Tentu kita sangat merindukan pemimpin yang hari-harinya dan jiwanya diabdikan sepenuhnya kepada bangsa dan negara. Pemimpin sejati tidak pernah lelah berjuang untuk bangsanya , keberadaannya dirasakan tanpa harus dikatakan. Rakyatlah yang berkata dialah pemimpin kami, kehangatan dekapannya membuat rakyat merasa nyaman karena dia tahu selalu ada pemimpin yang menjaganya. Hari-harinya menjadi pembicaraan rakyatnya karena mereka selalu merasa pemimpinnya selalu hadir ditengah-tengah mereka tanpa perlu pencitraan terhadap dirinya. Tereakan keras, humpatan dan cacian rakyatnya dia jadikan media untuk introspeksi kebijakan yang sedang dilakukan tanpa ada perasaan sakit hati. Kita mempunyai panutan pejuang kemerdekaan, Panglima Besar Jenderal Soedirman. Salah seorang putra terbaik bangsa yang mengabdikan jiwa dan raganya untuk kepentingan negara. Pemimpin sejati yang tak pernah lelah berjuang, meskipun paru-parunya tinggal sebelah. Pribadi luhur yang benar-benar memahami amanah kepemimpinan Figur seperti beliaulah yang dibutuhkan bangsa ini untuk mengawal reformasi agar tidak salah arah. Aura ketulusan yang berpadu dengan semangat juang dalam dirinya, terbukti ampuh menularkan energi positif kepada seluruh pejuang kemerdekaan. Hasilnya, ia mampu menyatukan segenap komponen bangsa, baik sipil maupun militer, untuk menggapai satu cita-cita mulia. Mewujudkan Indonesia merdeka agar rakyatnya sejahtera. Ketulusan, semangat juang, serta militansi panglima besar Soedirman bersama tokoh pendiri bangsa lainnya inilah yang sulit ditemui dalam diri para pemimpin bangsa sekarang. Jadi wajar jika bangsa kita di usia kemerdekaannya yang sudah mencapai 73 tahun ini, masih belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sampai saat ini, masih banyak rakyat yang hidup bagaikan masih di zaman penjajahan. Terlilit kemiskinan, terbelit kebodohan, dan terjebak keterbelakangan. Kalah jauh dengan negara-negara tetangga yang baru belakangan mengecap nikmat kemerdekaan. Ironi ini tidak perlu terjadi kalau para pemimpin negeri ini meniti jalan yang lurus. Memandang kepemimpinan sebagai media ibadah sekaligus amanah suci yang harus ditunaikan dengan sepenuh hati. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. اَْلاِ مَامُ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
“Kalian adalah pemimpin, dan akan diminta bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin, dan akan diminta bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim)
Nilai-nilai luhur inilah yang mulai tercerabut dari dalam jiwa para pemimpin negeri, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara tidak pernah harmonis dan serasi. Kekacauan politik, ketidakadilan hukum, dan ketimpangan ekonomi, adalah akibat dari perilaku politik para pemimpin pada umumnya. Pemimpin yang lahir dari iklim politik yang tidak sehat atau tidak kondusif. Kepemimpinan transaksional Adalah fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa banyak pemimpin yang memperoleh jabatan strategis dari hasil transaksi politik, bukan dari visi yang dimiliki, talenta yang mumpuni, atau jasa nyata yang dirasakan rakyat. Akibatnya, kepemimpinan hanya pemuas nafsu kekuasaan, dan menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu melalui jalan kezaliman. Kepemimpinan lebih terlihat sebagai asesoris kekuasaan yang harus ada dalam suatu negara, dibanding wadah menyalurkan ide positif dan gagasan konstruktif. Pemimpin seperti ini, cenderung sibuk membangun citra positif agar terus mendapat kepercayaan masyarakat, ketimbang meningkatkan etos kerja membangun bangsa. Yang lebih miris lagi, tidak sedikit pemimpin yang terbelenggu dengan transaksi politiknya sendiri. Utang budi politik semacam inilah yang menjadi pangkal merebaknya fenomena korupsi. Perhatian pemimpin tak lagi fokus pada rakyat, tapi para kroni politiknya. Yang diperjuangkan bukan lagi kepentingan masyarakat, tapi kepentingan diri dan kelompoknya. Pada titik inilah, akhlak, etika dan moralitas politik hanya menjadi slogan yang sering diucapkan, tanpa dipraktikkan. Padahal Allah Swt. berfirman dalam surah Shaff ayat 2-3:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَالاَ تَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَالاَ تَفْعَلُوْنَ.
“Wahai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS Shaff [61]: 2-3)
Sungguh ironi apabila demokrasi yang kita kembangkan selama ini telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang justru melawan kodrat demokrasi yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat hanya menjadi tumbal demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan pemimpin yang tak amanah dan korup. Sungguh hal ini merupakan penyimpangan demokrasi yang harus kita luruskan bersama, agar rakyat tidak hanya menjadi sapi perah calon pemimpin yang ingin berkuasa atau mempertahankan kekuasaannya. Fenomena ini tidak boleh terus berlangsung agar kepemimpinan di Republik ini tidak semakin jauh melenceng dari cita-cita demokrasi dan konstitusi kita. Terlebih agar kita tidak terus menjadi korban akibat ulah pemimpin yang tidak amanah. Kekuasaan oleh sekelompok orang (oligarki) atau kekuasaan sentralistik figur (patronase), maupun berdasarkan trah keluarga (nepotis) tidak boleh dibiarkan tumbuh subur sebagai hamanya demokrasi. Gejala ini pernah dialami oleh umat Islam generasi awal yang lazim disebut assabiqunal awwalun. Ketika Rasulullah Saw. wafat, banyak kaum Muslimin yang merasa kehilangan pegangan. Mereka tidak percaya, bahkan tidak menerima kematian sang Nabi, sampai Abu Bakar menyadarkan mereka:
أَيُّهَا النَّاسْ، إِنَّ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ. وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ فَإِنَّ اللهَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ.
“Saudara-sadara, barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal, tetapi siapa yang menyembah Allah, Allah Mahakekal dan tak pernah mati.”
Hikmah dari perkataan Abu Bakar dalam konteks kepemimpinan adalah pertama, perlunya melihat kepemimpinan sebagai sebuah proses yang tidak abadi. Siapapun dia, sekuat apapun dia, bahkan seotoriter apapun dia, seorang pemimpin pasti akan sampai pada kejatuhannya. Kepemimpinan dia pasti akan berakhir, orang sering mengistilahkan kehidupan seperti roda dia akan tiba saatnya diatas tetapi yakinilah dia juga akan kebawah. Ketika anda selalu memakai topeng dalam memimpin ketahuilah orang-orang disekeliling anda juga sedang memakai topengnya dihadapan anda. Jika tiba waktunya tanpa anda sadari dia sedang menghunus pedang tepat disamping anda tanpa anda sadari bahwa anda sedang dalam perangkapnya atau bahaya.
Kedua, kepemimpinan janganlah didasarkan pada faktor keturunan, karena kepemimpinan bukanlah warisan. Kepemimpinan harus didasarkan pada kualitas dan integritas sang pemimpin siapapun dan dari suku apapun dia. Pemimpin itu dipersiapkan dia harus berdasarkan merit sistem, karena proses lah yang menjadikan dia berkarakter, hari-harinya harus diisi dengan persiapan bekal sebagai pemimpin. Dia harus memiliki konsep dalam kepemimpinannya. Ciri-ciri konsep yang dikemukakan oleh Dahar (1989) adalah: 1. Konsep timbul dari hasil pengalaman manusia dengan lebih dari satu
benda, peristiwa atau fakta, konsep merupakan suatu generalisasi dari
fakta-fakta tersebut. 2. Hasil berpikir abstrak manusia dari fakta-fakta tersebut. 3. Suatu konsep dapat dianggap kurang tepat disebabkan timbulnya fakta-fakta baru, sehingga konsep dapat mengalami suatu perubahan (bersifat tentatif). Dari ciri-ciri tersebut, proses itu sangat penting dalam memahami konsep, dan konsep itu yang dijadikan sebagai unsur penilaian dari pantas atau tidaknya dia memimpin.
Ketiga, pemimpin tidak hanya punya tanggung jawab secara sosial, tapi juga secara spiritual, yaitu kepada Allah Swt. Karena itu, pemimpin dituntut tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tapi juga spiritual yang dapat menuntunnya pada amanah kepemimpinannya. Karena itu, pemimpin harus betul-betul berusaha menjadikan kepemimpinannya sebagai sarana ibadah terbesar dia kepada Allah.
Hanya ingin mengingatkan bahwa saat ini kita berada di tengah kepungan entertaimen dan gejolak politik. Pemilihan pemimpin sering membuat kita berpecah belah, karena saat ini pemilihan pemimpin sepi dari gagasan dan visi kepemimpinannya, sehingga hari-hari hanya bisa membicarakan keburukan satu sama lain. Persatuan umat dan akhlak harus menjadi yang utama, rajutan itu sangat sulit di anyam ketika sudah terputus sehingga harus saling menjaga agar tidak tercerai berai. Sebagai insan yang beriman dan berpendidikan, mari kita sikapi semua rayuan politik tersebut dengan arif agar tidak salah memilih pemimpin. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk menapaki jalan yang benar dan selalu dapat memilih pemimpin yang amanah. Kita juga berdoa semoga Allah Swt segera menyadarkan para pemimpin di negeri ini untuk menjalankan amanatnya secara jujur, transparan, dan penuh keikhlasan sehingga negeri ini betul-betul menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang jauh dari bencana karena pemimpinnya semakin dekat pada penciptanya, yaitu Allah Swt. Amien ya robbal ‘alamin.