Politik Pendirian Kementerian Agama

Politik Pendirian Kementerian Agama

Desmi Avicena Medina

Auditor Itwil IV

Islam sejak abad VII melalui para pedagang Arab yang telah lama berhubungan dagang dengan kepulauan Indonesia tidak lama setelah Islam berkembang di jazirah Arab. Agama Islam tersiar secara hampir merata di seluruh kepulauan nusantara seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Perlak dan Samudera Pasai di Aceh, kerajaan Demak, Pajang dan Mataram di Jawa Tengah, kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa Barat, kerajaan Goa di Sulawesi Selatan, keraj aan Tidore dan Ternate di Maluku, kerajaan Banjar di Kalimantan, dan lain-lain. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda banyak raja dan kalangan bangsawan yang bangkit menentang penjajah. Mereka tercatat sebagai pahlawan bangsa, seperti Sultan Iskandar Muda, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim, Sultan Agung Mataram, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Tirtayasa, Sultan Hasanuddin, Sultan Goa, Sultan Ternate, Pangeran Antasari, dan lain-lain. Pola pemerintahan kerajaan-kerajaan tersebut diatas pada umumnya selalu memiliki dan melaksanakan fungsi sebagai berikut:

  1. Fungsi pemerintahan umum, hal ini tercermin pada gelar “Sampean Dalem Hingkang Sinuhun” sebagai pelaksana fungsi pemerintahan umum.
  2. Fungsi pemimpin keagamaan tercermin pada gelar “Sayidin Panatagama Kalifatulah.”
  3. Fungsi keamanan dan pertahanan, tercermin dalam gelar raja “Senopati Hing Ngalogo.”

Pada masa penjajahan Belanda sejak abad XVI sampai pertengahan abad XX pemerintahan Hindia Belanda “mengatur” pelayanan kehidupan beragama. Tentu saja “pelayanan” keagamaan tersebut tak terlepas dari kepentingan strategi kolonialisme Belanda. Dr.C. Snuck Hurgronye, seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam bukunya “Nederland en de Islam” (Brill, Leiden 1911) menyarankan sebagai berikut: “Sesungguhnya menurut prinsip yang tepat, campur tangan pemerintah dalam bidang agama adalah salah, namun jangan dilupakan bahwa dalam sistem (tata negara) Islam terdapat sejumlah permasalahan yang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan agama yang bagi suatu pemerintahan yang baik, sama sekali tidak boleh lalai untuk mengaturnya.”

Secara filosofis, sosio politis dan historis agama bagi bangsa Indonesia sudah berurat dan berakar dalam kehidupan bangsa. hubungan agama (Islam) dan negara (Indonesia) menjadi masalah pelik. Itu terlihat kalau kita menyimak persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei hingga 22 Agustus 1945. BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang dipimpin Bung Karno membahas dasar negara. Panitia kecil itu berhasil merumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang menjadi Pembukaan UUD. Pada 18 Agustus 1945 Rancangan UUD itu rencananya disahkan dalam persidangan PPKI. Tetapi, pada 17 Agustus 1945 sore sekelompok pemuda yang mengaku mewakili umat Kristen dari Indonesia Timur mendatangi Bung Hatta menyampaikan aspirasi mereka. Mereka menyatakan, umat Kristiani tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia yang belum berusia sehari. Sikap itu diambil karena Pembukaan UUD yang dikenal sebagai Piagam Jakarta di dalamnya mengandung kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Esoknya Bung Hatta lalu mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam yaitu Ki Bagus Hadikusumo, KHA Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohamad Hasan membahas masalah rumit dan mendesak itu. Berminggu-minggu para tokoh pendiri bangsa itu berdebat alot memilih Pancasila atau Islam sebagai dasar negara. Dan akhirnya musyawarah menghasilkan titik temu berupa dasar negara Pancasila dengan mencantumkan tujuh kata Piagam Jakarta pada sila pertama, dan kini hasil musyawarah itu ditolak pada hal esoknya harus disahkan.

Sungguh luar biasa tanggapan para tokoh Islam terhadap penolakan itu. Dengan jiwa besar, penuh rasa tanggung jawab, semangat mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan Islam, mereka tidak ragu segera mencoret tujuh kata Piagam Jakarta sehingga Pembukaan UUD berbunyi dan tertulis seperti sekarang. Dan tindakan itu kemudian diterima tokoh-tokoh Islam lain. Maka, langkah pertama memadukan Indonesia dan Islam berhasil dilakukan tokoh-tokoh Islam. Walaupun menurut pakar hukum Prof Yusril Ihza Mahendra Guru Besar Hukum UI ini, secara sosiologis dan historis, hukum Islam tetap mempengaruhi para pemeluknya dari dulu sampai sekarang. “Ketika VOC mulai menguasai tanah Jawa, mereka meminta Prof De Friejer untuk menghimpun hukum yg berlaku di tanah Jawa. Prof Priejer menerbitkan kompilasinya tahun 1660 yang ternyata kompediumnya itu berisi hukum Islam yg disana sini mengadopsi hukum adat Jawa.”

Keberadaan Kementerian Agama sebagai organisasi negara yang membidangi agama dalam pemerintahan merupakan hasil perjuangan umat Islam khususnya, dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya. Para pemimpin Islam ketika itu berhasil memperjuangkan Kementerian Agama atas dasar pemikiran bahwa Kementerian Agama adalah bagian yang wajar dalam tata pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan Kementerian Agama, sebagaimana diungkapkan R. Moh. Kafrawi (mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama), “…. dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekuler dan Kristen tentang pemisahan gereja dengan negara, dan teori muslim tentang penyatuan antara keduanya. Jadi Kementerian Agama itu timbul dari formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan, sistem Islami dan sistem sekuler.”

Eksistensi Kementerian Agama, menurut pengamat asing B.J. Boland sebagaimana ditulis dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia, “Jadi, (negara) Indonesia baru ini lahir bukan sebagai negara Islam menurut konsepsi Islam yang ortodoks, juga bukan sebagai negara sekuler yang memandang agama semata-mata masalah pribadi. Karena itu, pembentukan dan eksistensi Kementerian Agama itu tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan semangat Piagam Jakarta dan dari perjuangan konstitusional para nasionalis Islami dalam bidang konstitusi dan pemerintahan umumnya.” Pembentukan Kementerian Agama pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta memicu perselisihan antara umat Islam dan Kristen. Kalangan Islam menuduh aktor di balik dihapusnya ketujuh kata tersebut adalah para tokoh Kristen. Peristiwa ini kelak mempengaruhi hubungan antara Islam dan Kristen di negeri ini. Tidak hanya berdampak jangka pendek, “dendam sejarah” dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta ternyata terus dipelihara, oleh kelompok Islam fundamentalis utamanya, dari generasi ke generasi. Kehadiran Kementerian Agama pada awalnya tetap dicurigai kalangan non muslim. Mereka menuduh bahwa pembentukan Kementerian Agama merupakan langkah awal berdirinya Negara Islam (sulsel.kemenag.go.id). Mereka menuduh bahwa ini hanyalah strategi kaum Islamis untuk mendirikan negara yang dicita-ciatakannya. Tuduhan ini dijawab oleh KH. Wahid Hasyim. Ia menyatakan bahwa “adalah pantas bagi Kementerian Agama untuk memberikan perhatian lebih besar kepada masalah-masalah Islam, karena jumlah penduduk Muslim jauh lebih banyak dibandingkan jumlah kaum non Muslim. Karena itu, ujarnya, tugas-tugas untuk pengelolaan masalah-masalah Islam dan kaum Muslimin tidak sama besarnya dengan penanganan masalah-masalah kaum non-Muslim. Jadi, perbedaan ini tidaklah didasarkan pada diskriminasi agama.” Selanjutnya beliau berpendapat “Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara.” (Nasar: 2010).

Seperti yang pernah diutarakan oleh Mantan Menteri Agama H.M. Rasjidi dalam konperensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta tanggal 17, 18 Maret 1946 ebab-sebab dan kepentingannya Pemerintah Republik Indonesia mendirikan Kementerian Agama yakni untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29, yang menerangkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (ayat 1 dan 2). Jadi, lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.”. Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Menteri Agama H.M. Rasjidi dalam pidato yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya. Seharusnya Kementerian Agama berdiri dan fungsinya berbeda dari Kementerian-kementerian lain seharusnya diatur oleh aturan khusus bahwa Kementerian Agama harus selalu menjaga netralitas dan kepentingan politik manapun.

Kementerian Agama adalah wadah umat islam dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya walaupun tidak dipungkiri bahwa Kementerian Agama wajib mengayomi seluruh agama yang diakui oleh undang-undang tanpa membeda-bedakan. Kementerian Agama adalah Kementerian Khusus yang seharusnya pemimpinnya orang yang sangat mengerti dan paham Kementerian ini dari sisi sejarah dan birokrasinya. Kementerian Agama dijadikan seperti instansi vertikal lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan dan TNI yang pemimpinnya harus orang dari institusi tersebut. Sebagai contoh Kepolisian menurut undang-undang nomor 2 tahun 2002 di pasal 11 calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier. Mengapa merupakan perwira dari dalam karena untuk menjaga netralitas dan pimpinan polri harus paham benar kepada institusi didalamnya kepolisian melaksanakan hal-hal teknis dalam keamanan negara.

Sangat sentralnya keberadaan Kementerian Agama sehingga pimpinan Kementerian ini adalah orang-orang yang mengerti benar teknis, sejarah dan di jamin netralitasnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menjadikan pimpinan Kementerian Agama merupakan jabatan karir dari pegawai di dalamnya semangat ini bukan ingin menutup atau seolah-oleh ingin mengekslusifkan Kementerian ini. Hanya ingin mendudukan kembali tugas, fungsi dan sejarah dari Kementerian ini berbeda. Saat ini banyak pihak yang seolah-olah ingin mengebiri Kementerian Agama, mulai dari ingin merubah nama menjadi Kementerian Keagamaan, Kementerian Haji, Zakat, dan Wakaf dan lain-lain. Hingga dengan cara halus mengurangi fungsi-fungsi Kementerian Agama. Sebagai contoh pindahnya peradilan agama ke mahkamah agung, di bentuknya badan pengelola dana haji diluar struktur Kementerian Agama. Ini bahaya besar dan harus di pahami oleh khalayak umum. Semangat yang harus di gelorakan bahwa pimpinan Kementerian Agama merupakan orang dari dalam karena diharapkan jenjang karir yang ada, diklat-diklat pemahaman kenegaraan dan pengalaman birokrasi yang dialami di harapkan mampu membawa Kementerian sesuai dengan tugas dan fungsinya.

 

Kementerian Agama mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri, yang berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji; dari Kementerian Kehakiman, yang berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi; dari Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, yang berkenaan dengan masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah. Menghilangkan eksistensi Kementerian Agama berpotensi “membangunkan” pertarungan antara kaum Islamis dan nasionalis. Penghapusan Kementerian Agama dapat menjadi alat legitimasi kalangan Islamis untuk melakukan pertentangan terhadap negara. Justifikasi yang selama ini dibangun bahwa NKRI bukan negara sekuler, akan serta-merta runtuh dengan dihapuskannnya Kementerian Agama. Pada akhirnya, bentuk negara yang sudah dianggap 100% sekuler, dapat dijadikan sebagai legitimasi oleh kelompok Islamis untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah. Karena realitasnya negeri ini dibangun dan dapat direbut dari penjajah karena mengalirnya darah para syuhada muslim. Sehingga mereka sangat merindukan sekali islam yang menjadi dasar mereka berkehidupan dan bernegara. Semangat itu yang di rangkum kedalam Kementerian Agama. Kehadiran Kementerian Agama ingin memberitahukan bahwa Agama tidak terpisah dari eksistensi negara. Semoga para pimpinan Kementerian ini memahami dengan baik sejarah dan semangat berdirinya kementerian ini. Jangan dijadikan sebagai alat politik ataupun untuk menyuburkan salah satu kelompok agama.