E-Gov di Indonesia mulai dilirik sejak tahun 2001 yaitu sejak munculnya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 tgl. 24 April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi. Berdasarkan data yang ada, pelaksanaan E-Government di Indonesia sebagian besar barulah pada tahap publikasi situs oleh pemerintah atau baru pada tahap pemberian informasi, dalam tahapan Layne & Lee baru masuk dalam Cataloguing. Data Maret 2002 menunjukkan 369 kantor pemerintahan telah membuka situs mereka. Akan tetapi 24% dari situs tersebut gagal untuk mempertahankan kelangsungan waktu operasi karena anggaran yang terbatas. Saat ini hanya 85 situs yang beroperasi dengan pilihan yang lengkap. (Jakarta Post, 15 Januari 2003).
Pada tahun 2003, di era Presiden Megawati Soekarno Putri, Pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang lebih fokus terhadap pelaksanaan E-Gov, melalui Instruksi Presiden yaitu Inpres Nomor 3 tahun 2003. Inpres ini berisi tentang Strategi Pengembangan E-gov yang juga sudah dilengkapi dengan berbagai Panduan tentang e-gov seperti: Panduan Pembangunan Infrastruktur Portal Pemerintah; Panduan Manajemen Sistem Dokumen Elektronik Pemerintah; Pedoman tentang Penyelenggaraan Situs Web Pemda; dan lain-lain. Demikian pula berbagai panduan telah dihasilkan oleh Depkominfo pada tahun 2004 yang pada dasarnya telah menjadi acuan bagi penyelenggaraan e-gov di pusat dan daerah. Dalam Inpres ini, Presiden dengan tegas memerintahkan kepada seluruh Menteri, Gubernur, Walikota dan Bupati untuk membangun E-government dengan berkoordinasi dengan Menteri Komunikasi & Informasi.
Penetrasi perkembangan sistem informasi yang sangat pesat dan tuntutan untuk pelaksanaan e government Kementerian Agama mengalokasikan anggaran cukup besar berdasarkan jumlah pagu anggaran pada Kementerian Agama belanja modal per Oktober tahun 2018 sebesar Rp5.271.609.974.000,00 (Lima triliun dua ratus tujuh puluh satu milyar enam ratus sembilan juta sembilan ratus tujuh puluh empat ribu rupiah) dari anggaran tersebut sebesar 16.23% nya digunakan untuk belanja komputer, jaringan, dan aplikasi. Rinciannya sebagai berikut:
No. | Akun | Pagu Anggaran PER SEPT 2018 | Keterangan |
1 | 534161 | 623,840,000.00 | Belanja Penambahan Nilai Jaringan |
2 | 532111 | 729,018,309,000.00 | Belanja Modal Peralatan dan Mesin |
3 | 536111 | 123,637,069,000.00 | Belanja Modal Lainnya |
4 | 534131 | 2,362,927,000.00 | Belanja Modal Jaringan |
Total | 855,642,145,000.00 | ||
Belanja Modal | 5,271,609,974,000.00 | ||
Prosentase | 16.23% |
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sebagai aparat pengawasan internal pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi melaksanakan pengawasan di lingkungan Kementerian Agama mengemban misi antara lain melakukan penguatan sistem pengawasan yang efektif dan terintegrasi. Misi tersebut sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat terhadap perubahan organisasi internal yang menghendaki setiap penyelenggara negara mampu melaksanakan tugasnya secara profesional dan akuntabel.
Besarnya anggaran untuk belanja komputer, jaringan, dan aplikasi tersebut Inspektorat Jenderal perlu mempersiapkan auditornya untuk menguasai mengenai audit, kontrol dan keamanan Sistem Informasi untuk mengantisipasi dan menilai dari sisi efektifitas, efisiensi dan ekonomis serta menilai resiko dari anggaran tersebut.
Untuk mewujudkan integrasi pelaksanaan pengawasan, dan mengedepankan peran katalisator Inspektorat Jenderal perlu menjalin koordinasi dengan Biro Hubungan Masyarakat, Data dan Informasi yang mempunyai fungsi koordinasi dan pengelolaan informasi dan publikasi di bidang agama; pelaksanaan pengembangan teknologi informatika dan komunikasi; dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang hubungan masyarakat, data, dan teknologi informasi. Untuk itu APIP perlu menjalin koordinasi dengan Biro Humas, data dan informasi dalam menentukan bentuk pengembangan dan evaluasi yang perlu dilakukan dari anggaran pengadaan peralatan, aplikasi dan pembangunan jaringan yang total besarnya Rp855.642.145.000,00 (Delapan Ratus Lima Puluh Lima Milyar Enam Ratus Empat Puluh Dua Juta Seratus Empat Puluh Lima Ribu Rupiah).
Sertifikasi CISA merupakan sertifikasi untuk auditor dalam melakukan audit Sistem Informasi yang diakui di tingkat Internasional yang disponsori oleh ISACA. Auditor akan belajar mengenai audit, kontrol dan keamanan Sistem Informasi untuk melakukan audit Sistem Informasi (IS audit) dalam menjadikan auditor yang profesional. Sertifikasi CISA Menambah pengetahuan dan keterampilan auditor dalam melakukan audit sistem informasi agar dapat bisa diaplikasikan di pekerjaan dan dapat diakui kompetensinya secara standar global. Sertifikat CISA secara garis besar mempelajari proses dalam audit sistem informasi, tata kelola dan manajemen sistem informasi, akuisisi, pengembangan dan implementasi sistem informasi, pengoperasian sistem informasi, maintenance dan support pengelolaan sistem informasi, dan pengamanan aset sistem informasi. Dari garis besar tersebut kami rasa perlu auditor melalukan pelatihan dan mempunyai sertifikasi tersebut.
Diklat sertifikasi juga sebagai strategi dalam menaikan level Internal Audit Capability Model (IACM) menjadi level 3. IACM level 3 merupakan RPJMN 2015-2019 sehingga setiap APIP di Kementerian perlu menyesuaikan dan merancang strategi dalam memenuhinya. Dalam Perka BPKP Nomor 6 Tahun 2015 salah satu kriteria Key Process Area (KPA) level 3 dalam elemen Manajemen SDM yaitu tersedianya staf APIP yang profesional, ditandai dengan SDM yang terlatih/tersertifikasi baik nasional maupun internasional sesuai dengan peran layanan APIP dan pengembangan SDM APIP berbasis tim (tim building) yang saling berbagi pengetahuan salah satunya yang akan dibentuk adalah Tim Sistem Informasi untuk melakukan penguatan, penilaian, evaluasi dan audit Sistem Informasi.
E- Government adalah penggunaan teknologi informasi untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan e-Government untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Inspektorat Jenderal (APIP) berdasarkan PMA 42 tahun 2016 salah satu fungsinya pelaksanaan pengawasan internal terhadap kinerja dan keuangan, sehingga APIP harus senantiasa melakukan pengawasan terhadap capaian kinerjanya, jangan sampai pengadaan sistem informasi hanya karena gagap terhadap teknologi dan dorongan harus melaksanakan tetapi tidak memperhatikan proses bisnis dan tujuan dari diadakannya perangkat tersebut