Sikap beragama umat islam merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses islamisasi beberapa abad yang lalu. proses islamisasi di indonesia sangat di pengaruhi oleh dua hal, yaitu Tasawuf/Tarekat dan mazhab fikih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum sifi memegang peranan yag sangat penting. Melalui merekalah islam dapat menjangkau daerah-daerah hampir diseluruh nusantara ini. Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak bumi putra, ataupun yang diserahkan kepada misi dan zending Kristen dengan bantuan financial dari pemerintah belanda. Pendidikan demikian pada awal abad ke 20 telah menyebar dibeberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai atas, yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga pendidikan kolonial terdapatlah dua macam pendidikan diawal abad 20, yaitu pendidikan islam tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya.
Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial, dan dalam artian ini orang menilai pendidikan kolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai penyebar kebudayaan barat. Dengan corak pendidikan yang demikian pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan pribumi yang terdidik, tetapi juga berkebudayaan barat. Hal ini merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik asisiasi yang pada hakekatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia kedalam orbit kebudayaan barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intlektual yang biasanya memuja barat dan menyudutkan tradisi nenekmoyang serta kurang menghargai islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan barat yang sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah yang dimaksud sebagai ancaman dan tantangan bagi islam diawal abad ke 20.
Pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, pendidikan Islam diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam dengan ciri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari apa yang diilustrasikan pada kebijakan-kebjakan pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah Jepang yang telah menjajah bangsa Indonesia selama berabad-abad. Oleh karena itu periodisasi sejarah pedidikan Islam dibagi dalam dua garis besar, yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode sesudah kemerdekaan.
Pendidikan di Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan dapat digolongkan ke dalam tiga periode, yaitu:Pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan, Pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajahan, dan Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan. Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui kontak teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Ajaran Islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat.[1] Didapati pendidikan agama Islam di masa prakolonial dalam bentuk pengajian Al Qur’an dan pengajian kitab yang di selenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Kitab-kitab ini adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang.[2] Pada awal perkembangan Islam di Indonesia Hampir di setiap desa yang ditempati kaum muslimin, mereka mendirikan masjid sebagai tempat beribadah dan mengerjakan shalat Jumat dan pada tiap-tiap kampung, mereka mendirikan Surau (di Sumatera Barat) atau Langgar untuk mengaji dan membaca Alquran, dan sebagai tempat untuk mendirikan shalat lima waktu.
Pendidikan Islam yang berlangsung di langgar bersifat elementer, di mulai dengan mempelajari huruf abjad Arab (hijaiyyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci Alquran Pendidikan semacam ini dikelola oleh seorang petugas yang disebut Amil, Moden atau Lebai yang memiliki tugas ganda yaitu di samping memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pengajian Alquran pada pendidikan Langgar ini dapat dibedakan atas dua tingkatan yaitu :
- Tingkatan rendah, yaitu merupakan tingkatan pemula, yaitu di mulai dengan sampai bisa membacanya yang diadakan pada tiap-tiap kampong.
- Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, juga ditambah dengan pelajaran lagu, kasida dan berzanzi, tajwid dan mengaji kitab perukunan.
Pendidikan berdasarkan kepentingan penjajahan (era kolonialisme Belanda dan Jepang) Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 yaitu ketika Jan Pieter Coen menduduki Jakarta.[3] Kedatangan bangsa barat mereka menyebut pembaruan pendidikan itu adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Barat di Indonesia selama 3.5 Abad.[4] Sejak dari zaman VOC (Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia. Sejak dari zaman VOC (Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagia berikut: ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagai berikut: ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.[5]
Ketika Van den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Dan di tiap daerah Keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen. Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut : ”Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara”.[6] Pada masa penjajahan Belanda, bangsa Indonesia berhasil dijadikan bangsa yang sangat lemah dalam segala sektor kehidupan. Penduduk yang berpendidikan jumlahnya sangat sedikit. Pendidikan hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu. Penduduk pribumi umumnya tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang layak. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Bagi pemerintahan penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat pedagogis kultural tetapi juga psikologis politis. Dalam sistem pendidikan Islam di masa kolonialisme barat, penjajah belanda telah memberikan kebijakan yang sangat merugikan pihak kaum muslimin yaitu ordonansi, dimana penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari pemerintah,sekolah-sekolah liar yang harus meminta izin terlebih dahulu atas terselengaranya pendidikan tersebut, Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolahpun harus diberikan secara berkala. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan dikalangan masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum tertata, Ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat.
Pandangan ini pada satu fihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi dipihak lain, pandangan diatas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah. Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagai uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda. Sikap konfrontasi kaum santri dengan pemerintah penjajah ini, terlihat pula pada letak pesantren di Jawa pada waktu itu, yang pada umumnya tidak terletak di tengah kota atau desa, tapi di pinggir atau bahkan di luar keduanya. Lembaga pendidikan (sekolah dan pesantren) memiliki filosofi yang berbeda yang sekaligus melahirkan output yang memiliki orientasi yang berbeda pula. Perbedaan yang tajam antara ilmu agama dan ilmu umum menyebabkan munculnya sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama pada fase terakhir abad ke-19, serta dilanjutkan dan diperkuat pada abad ke-20. Pendidikan umum yang dibuat oleh pemerintah hindia belanja mempunyai sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, ini dinyatakan dalam Pasal 179 (2) I.S (Indishe Staatsregeling) dan dalam berbagai ordonansi. Singkatnya dinyatakan sebagai berikut: Pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Pengajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam sekolah.
Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang diakibatkan dari ordonansi dikelompokan dalam 2 corak: 1) difensif dan 2) progresif. Corak defensif ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu terhadap sistem pendidikan Islam. Disamping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga mengembangkan kurikilum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dijadikan sebagai benteng terakhir atas penetrasi penjajah khususnya dalam bidang pendidikan. Corak progresif yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijaksanaan diskriminatif. Umat islam dalam bidang pendidikan berusaha bagaimana dapat mencapai kesetaraan dan kesejajaran baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Sikap difensif yang terus-menerus disadari oleh kelompok umat islam tidak begitu baik karena semakin memberi peluang yang besar kepada sekolah yang dibangun hindia belanda. Sehingga untuk mengatasi masalah ini diperlukan mengembangkan lembaga-lembaga yang produknya sama dengan sekolah ala belanda tetapi akarnya adalah pendidikan agama. Wujud konkritnya adalah berkembangnya sekolah islam atau madrasah di berberbagai wilayah baik jawa maupun luar jawa. Ulama dan guru-guru mulai berdatangan, pengajian-pengajian diselenggarakan dengan mengambil tempat di masjid-masjid. Tempat-tempat pengajian ini kemudian selanjutnya ada yang berkembang menjadi pondok pesantren.surau,langgar,bahkan sekolah hingga perguruan tinggi.
Pada masa penjajahan jepang mereka berorientasi pada penguatan kekuasaan indonesia. Jepang menghapuskan sekolah-sekolah berbahasa belanja. Bahasa indonesia bahkan digunakan secara lebih luas di lingkungan pendidikan. Kurikulum dan struktur pendidikan pun dirubah.[7] Untuk memperoleh dukungan umat Islam, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijikan yang menawarkan bantuan dana bagi madrasah. Pemerintah Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa pemerintahan sebelumnya. Hal ini dilakukan karena pemerintah jepang tidak dapat menjangkau madrasah dan pesantren yang sebagaian besar berlokasi di desa-desa terpencil.[8]
Madrasah diambil dari asal kata darasa yang berarti belajar. madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam). Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari madrasah tersebut memegang peran penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya. Pada periode sebelum kemerdekaan Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sejak pertumbuhannya madrasah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan islam pesantren. Baik menyangkut sistem belajar mengajar, materi pelajaran, rencana pembelajaran, waktu belajar maupun pengasuh (guru). Untuk mengamankan kepentingannya, pemerintah Jepang lebih banyak mengangkat kalangan priyayi dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama. Kebijakan tersebut diterapkan karena Jepang berharap akan lebih mudah berkerjasama karena mereka tidak memiliki perhatian khusus terhadap pentingnya pendidikan islam. Kalangan ulama di Minangkabau bersepakat mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau. Majelis ini berusaha mengkoordinasikan pendidikan agama di madrasah. Dalam hal kurikulum, majelis ini membuat rancangan yang menjamin standar mutu pendidikan agama.[9] Pada masa penjajahan jepang penggalakan madrasah awaliyah digalakan secara luas. Majelis islam tinggi menjadi penggagas sekaligus penggerak utama berdirinya madrasah-madrasah awaliyah yang diperuntukan bagi anak-anak berusia minimal 7 tahun. Madrasah awaliyah lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan dan diselenggarakan pada sore hari. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan bagi anak-anak yang pada umumnya mengikuti sekolah-sekolah rakyat pada pagi hari.
Perkembangan madrasah pada awal kemerdekaan sangat terkait dengan Departemen agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia.[10] Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, disamping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Dalam memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan islam secara lebih meluas di Indonesia. Salah satu hasil yang cukup menonjol dari pembinaan madrasah pada masa awal kemerdekaan adalah pengembangan Instensif madrasah keguruan, baik dalam bentuk pendidikan guru agama (PGA) maupun sekolah guru hakim agama (SGHA).
Pendidikan dianggap sebagai hak warga negara sehingga wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.[11] Sehingga disusunlah definisi pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Prinsip pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.[12] Dengan adanya prinsip pendidikan tersebut seluruh penyelenggara pendidikan baik sekolah berlandaskan agama maupun umum wajib menjamin setiap peserta didiknya untuk mendapatkan pendidikan agama. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dan menjadikan fungsi pendidikan keagamaan sebagai cara pemerintah mempersiapkan masyarakatnya untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamannya. Pendidikan madrasah mengembangkan kurikulum dan silabus pendidikan dibawah supervisi Kementerian agama.
Wacana-wacana hampir setiap periode 5 tahunan untuk melebur urusan-urusan Kementerian Agama terutama pendidikan ke Kemendiknas adalah wacana yang tidak berdasarkan sejarah dan nilai-nilai sejarah mengapa Pendidikan Agama menjadi tugas dan tanggung jawab Kementerian Agama. Wacana seperti ini harus dicermati sebagai wacana berbahaya kita ketahui bersama pendidikan dijaman sejarah dulu sangat eksklusif tidak dapat dinikmati oleh seluruh warga negara, pendidikan islam selalu mendapat tentangan oleh Pemerintahan penjajah karena dianggap akan melakukan pembelotan dan membahayakan kepentingan pemerintahan kolonial karena membangkitkan kaum militan terpelajar muslimin. Jangan sampai masa ordonansi kembali hadir di Negara ini yang sudah puluhan tahun merdeka. Dibawah Kementerian Agama pendidikan umum dan pendidikan agama melebur menjadi wadah yang bernama Madrasah. Kementerian Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, untuk memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan islam secara lebih meluas di Indonesia.
[1] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Hida Agung,1985).
[2] Departemen Agama. Rekontruksi Sejarah Pendidikan islam Di Indonesia. Jakarta: (Departemen Agama RI, 2005)
[3] Zuhairini, ibid, h. 148. Bandingkan dengan Hanun Asrohah, op cit, h.150
[4] Ibdi hal 148-150
[5] http://anshori-pecintagadis.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html
[6] http://lena-unindrabioza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-zaman-enjajahan.html
[7] Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 97.
[8] Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
[9] Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal 119.
[10] Sebelum dibentuk departemen agama pengurusan madrasah telah mulai diperhatikan oleh Bada Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) dalam pengumumannya tanggal 22 Desember 1945 (Berita RI tahun II Nomor 4 dan 5 halaman 20 Kolom 1) yang antara lain menganjurkan: “Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya diusahakan agar pengajaran dilanggar-langgar dan maddrasah berjalan terus dan dipercepat”. Kemudian tanggal 27 Desember 1945 BPKNIP menyarankan agar madrasah dan pendok pesantren mendapat perhatian dan bantuan Abudin Nata, Ed., Op.cit, h. 204.
[11] Undang-Undang Dasar 1945, pasal 31.
[12] Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang 20 Tahun 2003. Pasal 4.