Saat ini kondisi SDM Aparatur terdiri dari tiga (3) generasi yaitu generasi baby boomers, generasi X (Gen-X) dan generasi Y (Gen-Y). Generasi baby boomers adalah generasi yang lahir antara tahun 1945 – 1964, Gen-X yang lahir antara tahun 1965 – 1979 dan Gen-Y yang lahir antara tahun 1980 – 1990. Disini penulis ingin membahas tentang generasi Y yang merupakan generasi terbesar dalam dunia kerja saat ini. Penulis membatasi pembahasan pada generasi Y, bukan generasi ini paling baik, tetapi setiap generasi mempunyai ciri dan ke khasan masing-masing. Tidak dibahasnya generasi lain karena ingin membatasi ruang lingkup pembahasan saja. Gernerasi Y generasi yang tumbuh di era kemajuan teknologi informasi, gadget, internet dan media sosial tumbuh menjamur menjadikan mereka sangat akrab dengan teknologi. Dengan adanya kemajuan tersebut membuat arus informasi sedemikian mudahnya mereka dapat. Mereka di pancing untuk memberikan pikirannya dengan informasi yang ada melalui media sosial yang tersedia. Ciri dari Gen-Y adalah cepat belajar & pintar, kritis, bekerja mobile, melek teknologi, mudah bergaul, selektif memilih pemimpin, berorientasi pada tim, suka tantangan besar dan tidak terintimidasi oleh atasan/senior. Faktor yang membuat Gen-Y dapat bertahan dalam organisasi yaitu variasi pekerjaan, manajemen yang mendukung dan promosi cepat. (R.J. Stone dalam Kementerian Keuangan & Pertamina, 2013). Sebagai contoh komposisi antar generasi di Kementerian Keuangan, pada tahun 2013 generasi baby boomers sebesar 17%, Gen-X sebesar 38% dan Gen-Y sebesar 45%. Jika diproyeksikan pada tahun 2017 maka Gen-Y meningkat menjadi 73% sedangkan Gen-X dan generasi baby boomers menurun masing-masing menjadi 25% dan 2%. Saat ini Gen-Y di Indonesia terdapat lebih dari 80 juta Gen-Y pada tahun 2010 dan akan meningkat menjadi 90 juta pada tahun 2030. Ini berarti 1/3 masyarakat indonesia adalah Gen-Y. Gen-Y yang sering memiliki pemikiran out of the box tetapi tidak dapat dipungkiri generasi yang juga membutuhkan guidance dalam setiap pemikirannya.
Apabila kita perhatikan data demografi karyawan di perusahaan, kita dapat melihat kalau Generasi Baby Boomers adalah generasi yang anggotanya sedang aktif bekerja. Penelitian dan observasi memperlihatkan bahwa Generasi Baby Boomers mengidentifikasi atau menggambarkan kekuatan mereka adalah pemikiran-pemikiran tentang organisasi, rasa optimisme dan kemauan untuk bekerja dengan waktu yang panjang (work long hours). Generasi ini dibesarkan di dalam suatu organisasi dengan struktur organisasi yang hierarkhis daripada struktur manajemen yang datar di mana kerja sama yang timbul di dalam organisasi didasarkan pada tuntutan pekerjaan (teamwork-based job roles). Sementara Generasi Y, yang mempunyai karateristik yang berbeda dengan Generasi Baby Boomers, juga mempunyai harapan yang sangat berbeda kepada perusahaan yang memperkerjakan mereka. Secara merata Generasi Y mempunyai pendidikan yang lebih baik dari para orang tua, mereka cukup terbiasa dengan teknologi bahkan sebahagian mereka sangat ahli dengan teknologi. Mereka ini mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, mampu mengerjakan beberapa tugas (Multitask). Namun di sisi lain Generasi Y ini sangat membutuhkan interaksi sosial, hasil pekerjaan yang dapat dilihat seketika dan keinginan untuk mendapatkan pengembangan yang cepat. Kebutuhan-kebutuhan ini yang sering dianggap sebagai kelemahan dari Generasi Y oleh kolega mereka yang lebih tua terutama mereka yang berasal dari Generasi Baby Boomers.
Dalam artikel di majalah Femina dan website PPM-Manajemen.ac.id, generasi Y merupakan generasi yang memiliki kekuatan terbesar pada daya eksplorasi dan kreatifitas. Kekuatan itu didukung dengan penguasaan teknologi tinggi dan perilaku serta pemikiran yang santai dan terbuka. Dalam bekerja sangat mendukung kerja tim yang saling terbuka dan menolak dominasi tertentu. Memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, dengan visi yang cukup jelas di usia muda, meskipun visi tesebut seringkali membuat mereka tidak suka terikat. Beberapa karkateristik diatas adalah kekuatan yang dimiliki generasi Y. Maka, secara garis besar ada beberapa variabel yang sangat mempengaruhi kekuatan dan pemberdayaan generasi Y. Variabel pertama, adalah keberadaan teknologi sebagai penunjang kreatifitas. Yang kedua, sistem yang terbuka dan egaliter, terdapat interaksi dalam pihak-pihak yang terlibat dalam suatu sistem. Yang ketiga, lingkungan kerja dan suasana kerja yang mendukung terciptanya kepuasan kerja dan mengakomodir visi masing-masing individu.
Apakah dalam organisasi ini mau berubah, mengakomodir perkembangan sesuai generasinya atau masih mau berpendapat para Gen-Y harus mengikuti seperti apa yang para baby boomers lakukan. Jika masih mau berkata seperti itu silahkan saja menentang siklus generasi yang ada. Bandingkan dengan organisasi yang telah beradaptasi dengan perkembangan yang ada. Dalam hal ini penulis melihat bahwa metode yang tepat untuk mengakomodir generasi Y adalah pertama menciptakan lingkungan dan suasana kerja yang egaliter, bagaimana generasi Y dapat mengungkapkan pendapat, membebaskan pikiran dan kemampuan berpendapat mereka. Dengan demikian, akan terbentuk suasana kerja yang dinamis dan demokratis. Dimana ini menyentuh titik kuat generasi ini yaitu keterbukaan pikiran dan pemikiran demokratis. Dengan membebaskan pikiran, setidaknya ada titik dimana generasi Y bebas dari tataran yang ada, dan secara bertahap dapat melengkapi sarana yang diperlukan untuk menunjuang kekuatan utama generasi ini, yaitu pada kreatifitas dan penguasaan teknologi. Walaupun tetap harus disadari bahwa vandalisme bukan jalan untuk mengungkapkan kritikan atau kebebasan berpikir. Wadah-wadah dalam mengakomodir sisi menyampaikan pendapat harus diperluas seperti adanya sistem kritik personal dimana masing-masing pegawai dapat menyampaikan pendapat atau gagasan terhadap sesuatu yang terjadi di institusinya. Instusi dapat mempersiapkan seperti wadah knowledge manajemen forum yang bebasiskan teknologi informasi dan dapat ditunjukan langsung kepada orang per orang pemegang kebijakan tanpa perlu identitas yang jelas bila dikhawatirkan bahwa pejabat atau orang-orang tertentu belum dapat mengakomodir atau menerima kritikan yang diberikan. Wadah seperti ini penting ditengah kebebasan menyampaikan pendapat yang sedang digelorakan dan memangkas unsur hirarkis yang seakan-akan gap antara pimpinan dan bawahannya jauh serta harus disampaikan dengan metode formal. Hal ini diperlukan untuk menstimulus para karyawan untuk ikut berpikir tentang kemajuan organisasinya. Mereka diharapkan dapat “terpancing” mengeluarkan ide-idenya untuk organisasi sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang mereka ketahui. Memang tidak mudah menerapkan suasana kerja egaliter karena kita telah dipaksa berpuluh-puluh tahun menjalani hirarki birokrasi yang tidak saja diranah pekerjaan tetapi sudah masuk ke ranah personal pelayanan yang diberikan antara bawahan terhadap atasan atau sebaliknya yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.
Kedua menciptakan loyalitas terhadap institusi ini,. Loyalitas ini menjadi penting karena generasi ini cenderung selektif memilih pemimpin dan berorientasi terhadap tim. Menjadikan seluruh komponen institusi adalah tim yang harus menjalankan fungsinya dengan sebaik baiknya untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Secara arti kata tim adalah sekelompok orang yang saling berhubungan atau bekerja sama untuk tujuan yang sama. Dalam Tim setiap orang mempunyai tugas yang mana dalam tugas tersebut terdapat subtugas yang saling terkait. Menurut Naresh Jain (2009). Tim memiliki anggota dengan keterampilan yang saling melengkapi dan menghasilkan sinergi melalui upaya yang terkoordinasi yang memungkinkan setiap anggota untuk memaksimalkan kekuatan mereka dan meminimalkan kelemahan mereka. Institusi ini harus menggambarkan dengan jelas ukuran-ukuran keberhasilan yang akan dicapai dan ukuran capaian setiap individunya seperti apa. Saat ini institusi pemerintah mengharuskan masing-masing pegawai harus membuat SKP (Sasaran kerja pegawai) apakah itu sudah mewakili?seharusnya iya, tetapi realitasnya bila ditanyakan kepada masing-masing pegawai apakah anda tahu sasaran kerja pimpinan diatas anda sehingga anda harus sebagai bagian dibawahnya tahu kemana dia akan bekerja untuk mewujudkannya dan pimpinan juga akan mudah mengevaluasinya. Generasi Y merupakan generasi yang hidup di era teknologi informasi sehingga penyelesaian target pekerjaan dan tukar menukar informasi seringkali mereka lakukan dengan digital. Gen X dan baby boomers sering memandang bahwa pertemuan fisik tetap dibutuhkan untuk membangun interaksi antar karyawan. Jadi pelaksanaan rapat koordinasi rutin masih diharapkan mampu menjadi ajang bagi setiap karyawan untuk saling menemukan titik temu. Bagi generasi Y, prinsip bahwa komunikasi dapat terjalin melalui berbagai macam media termasuk internet memungkinkan mereka untuk dapat bekerja lebih dari delapan jam per hari. Penggunaan beberapa fasilitas telpon seluler, seperti sms, video call maupun conference calldipandang sebagai sesuatu yang dapat menggantikan pertemuan formal. contoh lain ritme kerja gen X dan baby boomers yang cenderung bekerja sesuai standar dan prosedur yang rigid. Sementara gen Y adalah tidak terlalu menyukai hal-hal yang prosedural. Mereka cenderung lebih produktif bila diberi kebebasan secara utuh dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. melimpahkan tugas-tugas khusus yang membuat mereka mampu melakukan aktualisasi diri atau menempatkan mereka di tingkat manajemen yang lebih tinggi.
Ketiga adalah work life balance Salah satu penyebab generasi Y memiliki kepedulian lebih terhadap work life balance adalah generasi Y dibesarkan oleh generasi X dan babyboomers yang bekerja keras 50-70 jam seminggu. Hal ini menyebabkan generasi Y menganggap hubungan sosial dan keluarga sebagai hal yang penting dan mempengaruhi performa kerja mereka (Meier, Austin, dan Crocker, 2010). Persepsi individu mengenai tercapainya work life balance menurut Guest(dalam Amarakoon dan Wickramasinghe, 2009) dipengaruhi oleh dua hal,yaitu karakteristik individu dan dukungan organisasi. Dukungan organisasi dapat ditunjukkan melalui peraturan organisasi, dukungan atasan/ supervisor, maupun dukungan rekan kerja. Generasi Y yang memaknai worklife balance bukan hanya pada kehidupan pekerjaan dan keluarga, melainkan sebagai aktivitas di luar pekerjaan seperti kehidupan sosial dan personal (Simard,2011). Pekerjaan dan keluarga adalah dua area dimana manusia menghabiskan sebagian besar waktunya. Walaupun berbeda, pekerjaan dan keluarga interdependent satu sama lain sebagaimana keduanya berkaitan dengan pemenuhan hidup seseorang. Melalui pekerjaan, seseorang mengubah tidak hanya lingkungan namun juga dirinya, memperkaya dan menumbuhkan hidup dan semangatnya. Sedangkan keluarga dipandang sebagai hal yang pertama dan paling penting dalam human society. Keluarga juga dikaitkan dengan kasih sayang dimana seseorang dapat mengembangkan diri dan memperoleh pemenuhan dirinya, serta merupakan tempat yang penting bagi sebuah kebahagiaan dan harapan. Sedangkan pekerjaan adalah kondisi dan kebutuhan dasar bagi kehidupan keluarga, dan pada sisi lain merupakan sekolah pertama bagi pekerjaan untuk setiap orang. Jadi pekerjaan ditujukan bagi seseorang dan keluarga. Seberapa baik human society dengan implikasinya pada bisnis dan perekonomian, tergantung pada keluarga (Guitian, 2009). Guitian (2009) mengutip pendapat beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa konflik pekerjaan keluarga berkorelasi dengan ketidakhadiran, penurunan produktivitas, ketidakpuasan kerja, penurunan komitmen organisasi, kurangnya kepuasan hidup, kecemasan, kelelahan, distress psikologikal, depresi, penyakit fisik, penggunaan alkolhol, atau ketegangan dalam pernikahan. Di samping itu konflik pekerjaan keluarga juga dapat menurunkan kinerja. Selain itu Guitian (2009) juga berpendapat bahwa terdapatnya konflik pekerjaan keluarga mengakibatkan kehidupan karyawan menjadi kurang manusiawi. Sehingga penting sekali seorang karyawan meluangkan waktunya untuk keluarga karena berpengaruh langsung terhadap kinerja karyawan. Hal-hal seperti ini dapat dilakukan dengan penyusunan pekerjaan yang dilakukan dengan baik, karyawan diberikan jadwal kapan dia harus berangkat dinas, kapan dia harus fokus pada kantornya karena sedang ada pekerjaan yang harus diselesaikan dengan cepat, dan kapan dia harus meluangkan waktu untuk melakukan peningkatan kompetensi. Semua itu harus tersusun dengan baik sebagai sebuah organisasi yang telah mempunyai perencanaan dalam melaksanakan kegiatannya untuk mencapai tujuan organisasinya. Dengan adanya jadwal yang telah tersusun dengan baik berharap bahwa para karyawannya dapat mengatur waktu untuk keluarga, bersosialisasi serta menambah pengetahuannya. Dalam dunia auditor Jadwal pekerjaan sangat pentng karena dengan maraknya teknologi informasi saat ini memungkinkan mereka untuk mempersiapkan terlebih dahulu dimulai dari aturan-aturan yang terkait dari kegiatan yang akan dilaksanakan, dokumen audit sebelumnya dan meminta satker yang akan diperiksa untuk mempersiapkan data-data yang akan dilihat dan memperhitungkan lama waktu pemeriksaan kegiatan.
Disini penulis tidak sedang ingin membeda-bedakan generasi-generasi yang ada pada lingkungan organisasi. Tetapi kita tidak boleh juga menutup mata bahwa setiap generasi tumbuh dengan ke khasan mereka masing-masing. Generasi Y Sesuai dengan namanya, konon ada pendapat yang menyebutkan kenapa disebut gen Y, karena generasi ini selalu menanyakan “Why = Kenapa” dalam berkomunikasi. Berkomunikasi dengan generasi Y, pemimpin harus menyampaikan informasi secara jelas, transparan dan apa adanya. Gen Y juga ingin diberikan kesempatan untuk berbicara dan bertanya mengenai semua hal. Mereka menganggap bahwa semua di perusahaan adalah tim, sehingga dengan atasan pun mereka menganggap berbicara dengan rekan kerja/teman bukan dengan orang yang posisinya lebih tinggi. Hal ini yang biasanya menjadikan ketidakakraban antara Gen Y dengan atasannya, karena pemimpin masih menganggap sikap ini tidak sopan. Pertanyaan selanjutnya, dapatkah kita menyesuaikan gaya kepemimpinan kita dengan karakteristik Gen Y. Semua jawaban ada pada diri kita masing-masing para pemegang kebijakan tata kelola organisasi. Yang perlu dipahami adalah Gen Y bukanlah virus bagi organisasi, bukan juga penyakit bagi perusahaan. Tetapi generasi yang muncul sebagai akibat dari sesuatu yang tidak bisa kita hindari sebagaimana generasi-generasi sebelumnya, untuk itu kita juga hendaknya menyikapi dengan bijak sehingga terciptanya hubungan atasan dan bawahan yang harmonis. Generasi ini adalah generasi muda yang tumbuh dalam organisasi dan sedang dalam masa produktifnya, dalam Undang-Undang Nomor 40/2009 tentang kepemudaan batasan usia mulai 16 hingga 30 tahun. Tokoh-tokoh muda dalam kemerdekaan sebut saja Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo beserta kawan-kawannya ketika mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908 mereka semua berusia 20-25 tahunan. Tokoh Serikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto ketika memimpin organisasi tersebut berusia 25 tahun. Soebadio Sastrosatomo, Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni, serta dokter Moewardi ketika memaksa sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia berusia 25-30 tahunan. Mereka tumbuh menjadi orang-orang yang berpikir kritis kolaborasi antara generasi sangat penting sehingga mereka dapat saling topang dan melengkapi organisasinya. Semoga para generasi muda dapat selalu berkontribusi terhadap organisasinya terlebih negaranya dan memanfaat masa produktif sebesar-besarnya untuk lingkungan sekitar.